Rabu, 13 Januari 2016

Emotional Manifestation

Manifestasi Perasaan


Untuk mulai pembahasan saya mengenai perasaan, saya perlu 
mengajak Anda untuk sedikit berpikir kritis. Menurut Anda, apa perbedaan dari ‘perasaan sakit’ dengan ‘rasa sakit’?

Baiklah, saya akan membantu Anda untuk sedikit membuat 
kerangka pikiran. Perhatikan dua pernyataan di bawah ini.
  •     “Kebohonganmu dan sikap kasarmu membuat hatiku sakit.”
  •     “Sakit mataku ini karena terkena percikan api.”

Saya harap dua pernyataan di atas dapat membantu Anda dalam 
membuat sebuah pengertian singkat mengenai ‘perasaan’. Perasaan yang akan kita bahas saat ini adalah mengenai perasaan dalam dimensi psikologis (kejiwaan) bukan dalam penilaian fisiologis (fisik). Saya akan memberi definisi singkat berkaitan dengan perasaan yang akan jadi bahasan kita hari ini agar kita dapat terhubung dalam satu pengertian.
“Perasaan merupakan salah satu fungsi merasa bagi jiwa 
yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan manifestasi 
seorang individu dalam suatu waktu.”





Mari kita perhatikan ciri-ciri dari perasaan di bawah ini :


  • Subyektif. 
Kesukaan saya terhadap tempe hangat, termasuk jika dibandingkan dengan ayam goreng, terkesan tidak obyektif. Dari tinjauan nilai gizi jelas ayam lebih bergizi. Dari unsur bahan, daging lebih enak daripada kedelai (saya bukan seorang vegetarian). Dari unsur harga, meski terkesan ayam lebih mahal, tapi saya pernah beli sepotong ayam seharga seribu sama dengan harga tempe. Secara obyektif seharusnya ayam lebih dipilih daripada tempe hangat. Tapi bagi saya beda. Bagi saya tempe lebih punya “teste”. Saya ga peduli orang mau bilang apa, suka-suka gue mau suka apa. Inilah subyektifitas saya tentang tempe hangat. Sangat mungkin setiap orang memil iki selera perasaan yang berbeda-beda. Terserah dia secara subyektif.

  • Mudah Berubah. 

Apa yang kita benci hari ini, bisa jadi menjadi kita sukai keesokan hari. Apa yang anda rasakan saat ini ketika membaca artikel ini akan berubah ketika anda membacanya kembali di lain waktu. Nasi goreng yang terasa nikmat saat kita sarapan sangat mungkin membosankan bagi kita kalau kita memakan menu yang sama siang harinya. Begitulah, perasaan kita senantiasa berubah-ubah. Namun kadar perasaan itu sangat dipengaruhi oleh prosesnya. Sebuah proses yang lama akan melahirkan perasaan yang lebih mendalam dibandingkan dengan proses yang cepat. Orang yang jatuh cinta karena proses pembiasaan akan lebih bertahan daripada yang cinta pada pandangan pertama.

  • Tidak Berdiri Sendiri. 
Perasaan tidak bisa muncul tanpa adanya stimulasi atau berhubungan dengan proses jiwa yang lain. Perasaan baru muncul ketika kita melakukan pengamatan, atau berfantasi atau berpikir, atau ketika mengindra. Perasaan tidak akan merasakan apa-apa jika tidak ada stimulus apapun.

  • Mengandung Penilaian.
Dalam merasa sebenarnya kita membandingkan dengan perasaan-perasaan yang pernah kita rasakan sebelumnya, sebelum kemudian kita menilai. Ini menyenangkan atau tidak menyenangkan. Apa yang menyenangkan bagi seseorang belum tentu menyenangkan bagi orang lain. Seseorang mungkin sangat menyenangi uang karena pernah merasakan nikmatnya punya uang atau karena menderitanya orang tidak punya uang.



  • Bergerak dalam prinsip 'kesenangan'. 


Perasaan tidak memilih apa yang benar-salah atau baik-buruk. Ia hanya memilih berdasar prinsip kesenangan. Mana yang menyenangkan bagi jiwa itu yang selalu ia pilih. Perasaan tidak pernah memilih jalan penderitaan. Setiap penundaan terhadap kesenangan akan menimbulkan penderitaan, karena itu ia bersifat hedon.



Cara Kerja Perasaan


Untuk menjelaskan proses bekerjanya perasaan tidak bisa diamati pada kasus remaja atau orang dewasa, karena pilihan-pilihan atau respon-respon remaja dan orang dewasa sudah mengalami kompleksitas yang luar biasa. Maka untuk mengamati cara kerja perasaan adalah dengan melihat anak kecil yang asumsinya pola merespon dia belum menggunakan pikiran dan nilai secara maksimal.


Pertama, bayi harus memulai pengalaman rasa dengan melakukan pengindraan. Dari mulutnya ia merasakan manis, asam, asin. Dari hidungnya ia mencium bau-bauan. Dari telinga ia mendengar sapaan orang-orang di sekelilingnya. Dari mata ia bisa melihat ekspresi wajah orang-orang disekelilingnya, dst. 

Pengalaman rasa itu disimpan dalam memori. Ia juga memori reaksi-reaksi orang-orang di sekelilingnya ketika ia melakukan sesuatu. Itulah pengalaman-pengalaman perasaan yang pertama-pertama. Ia menggunakan instingnya untuk mendapatkan pengalamannya yang pertama dn dengan itulah ia merespon setiap stimulus. Jangan heran jika perilaku bayi banyak bersifat trial-error (mencoba-coba). 

Ketika ia mulai beranjak besar, ketika ia sudah mulai bisa memilih-milih, maka pilihan-pilihan itu tidak lagi berdasarkan insting semata, tetapi juga karena melalui perbandingan perasaan yang ia dapatkan dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Ia memilih apa yang menyenangkan bagi dia. Maka karena itu, secara potensial perasaan senantiasa mengarahkan hanya pada kesenangan semata. Ia tidak pernah mengarahkan pilihan individu pada perasaan sakit atau menderita. Inilah prinsip kerja perasaan.

Lalu, bagaimana penjelasan orang yang rela memilih untuk menderita?

Bagaimana dengan kondisi ketika seseorang harus memilih antara jalan hidup yang benar menurut logika dia walaupun harus merasakan penderitaan dengan dikucilkan atau bahkan disingkirkan dari keluarga? 

Bukankah ia lebih memilih menderita daripada bahagia?


Benar!


Pada banyak kasus kita menemukan orang-orang lebih memilih menderita daripada bahagia. Tapi ingat, pilihan itu bukan berdasarkan perasaan. Pada banyak kasus orang lebih rela menderita karena lebih memilih apa yang ia anggap benar (kebenaran). Pilihan ini tidak didasarkan perasaan tetapi kelogisan, hasil pemikiran yang logis yang menurut ia benar dan karena kebenaran itu ia rela menderita perasaan. Sehingga, seandainya kita abaikan faktor pemikiran, pastilah seseorang akan memilih kebahagiaan. 

Kalau kita bertanya pada setiap individu, “apa sebenarnya yang kamu cari dalam hidup ini ?” jawabannya hanya ada dua, “kebahagiaan” atau “kebenaran”. Yang satu berdimensi perasaan dan satu berdimensi pikiran. Begitulah, secara alamiah perasaan akan mengarahkan manusia pada pilihan yang membahagiakan, tapi interupsi pikiran dapat merubah alur alamiah ini. Sehingga respon-respon kita terhadap stimulasi tidak hanya mengikuti arahan perasaan saja. 

Karena itu untuk memperjelas kondisi perasaan, kita perlu mengetahui bagaimana cara bekerjanya pikiran sehingga kita juga dapat mengetahui kapan pikiran akan mengiterupsi arahan perasaan itu. Fakta yang saya temukan dalam penelusuran rahasia ini, kondisi perasaan dan pola yang terbentuk dalam pikiran selalu saling terhubung (auto-connection) dan saling mempengaruhi.


Penjelasan lainnya mengenai keterhubungan perasaan dan pikiran saya kemas dalam Ebook 10 Kunci SUKSES PRIA IDAMAN Full Version yang akan saya terbitkan kembali pada bulan Februari. Simak informasi penerbitannya dalam website SUKSES. Lakukan pemesanan dan registrasi downpayment SEGERA!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Share your happiness here ..